JejakKalbar.web.id-SANGGAU, KALIMANTAN BARAT — Ini bukan lagi sekadar kisah air keruh atau sungai yang tercemar. Ini adalah tamparan keras terhadap wajah hukum di Kabupaten Sanggau — di mana tambang emas ilegal (PETI) bisa hidup kembali hanya beberapa minggu setelah razia aparat. Di seberang Desa Semerangkai, suara mesin pengeruk kembali meraung, mengisyaratkan bahwa hukum di sini memang mudah dilumpuhkan oleh uang.
Aktivitas tambang yang sebelumnya sempat “tiarap” kini muncul lagi, bahkan lebih besar. Mesin-mesin berkapasitas tinggi didatangkan. Nilainya fantastis — satu lanting lengkap bisa mencapai ratusan juta rupiah. Jelas bukan modal rakyat kecil. “Kalau masyarakat biasa, mana mungkin punya uang segitu. Ini pasti cukong besar di belakangnya,” ujar seorang warga di bantaran sungai.
Nama-nama ASP, AWG, dan JN pun kembali ramai diperbincangkan sebagai aktor yang disebut-sebut kebal hukum. Warga menilai, meski nama-nama itu sering muncul di obrolan publik, tidak ada tindakan nyata. Seolah hukum bisa disesuaikan dengan kepentingan. “Kalau punya uang, bisa tidur nyenyak walau sungai hancur,” sindir warga lainnya.
Yang membuat masyarakat makin muak adalah pola yang selalu sama: setelah berita viral, barulah aparat turun razia. Sungai disisir, namun hasilnya nihil. Tak ditemukan satu pun aktivitas tambang seperti yang diberitakan media. “Itu sudah jadi seremoni lumrah. Razia datang, kamera ikut, laporan dibuat, lalu selesai. Begitu sepi, mereka kerja lagi,” ujar seorang tokoh masyarakat yang sudah hafal siklus itu.
Padahal jelas, aktivitas PETI melanggar Pasal 158 UU Minerba dan Pasal 98 UU PPLH tentang pencemaran lingkungan. Namun di Sanggau, hukum seperti hanya berlaku untuk rakyat kecil, sementara para pemodal besar dan penyandang dana tetap aman berjalan di atas lumpur keuntungan.
Lebih parah lagi, warga menemukan indikasi penggunaan air raksa (merkuri) dalam proses pengolahan emas — bahan beracun yang mencemari sungai dan membahayakan kesehatan. Ikan mati, air berbau logam, dan warga mulai mengeluh gatal serta iritasi kulit. Tapi semua itu tak cukup untuk menggugah aksi nyata dari aparat.
Kini masyarakat Sanggau mulai lelah berharap. Mereka melihat hukum bukan lagi sebagai pelindung, tapi penonton yang diam di tengah kerusakan. “Setelah viral, baru bergerak. Setelah reda, hilang lagi,” kata seorang nelayan dengan nada getir.
Bagi warga, ini bukan sekadar soal tambang. Ini soal martabat hukum yang digadaikan, soal alam yang dikorbankan demi setoran. Sanggau kini menjadi cermin getir: di satu sisi, sungainya mati perlahan; di sisi lain, kepercayaan rakyat pada hukum ikut tenggelam di dasar air yang tercemar.
redaksi jejakkalbar
